Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK ini viral dan terjadi disejumlah perusahaan-perusahaan startup di Tanah Air. Penyebab faktor tersebut antara lain yakni karena perusahaan rintisan di Indonesia tidak focus dalam bisnis, kehabisan dana, dan tidak memiliki strategi yang baik untuk berkembang di pasar. Hal tersebut telah disampaikan Hendra Setiawan Boen selaku analis hukum restrukturisasi hutang dari kantor Frans & Setiawan.
Menurut Hendra, masalah utama yang menyebabkan Fenomena PHK pada perusahaan startup adalah dana operasional mereka yang sepenuhnya bergantung pada pendanaan pihak luar melalui fundraising, private placement sampai pinjaman.
“Memang dana dari investor sangat berguna bila ingin ekspansi tapi tentu tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak luar. Startup ini harus bisa menghitung kapan perusahaan bisa mandiri, break-event point, mengembalikan dana pinjaman dari investor dan mulai meraup keuntungan,” ungkap Hendra dalam keterangan tertulisnya, Kamis, (26/05/2022).
Dia mencontohkan pada perusahaan startup besar yang sekarang sudah berdiri selama puluhan tahun dan masih beroperasi dengan menanggung hutang puluhan triliun dan mendapatkan investor yang terus memberikan suntikan modal.
“Bagi saya praktik seperti ini tidak masuk akal dan tidak sustainable. Kalau tiba-tiba investor startup kehabisan uang, apakah si startup masih bisa beroperasi atau malah kasak-kusuk mencari investor lain untuk suntikan modal?,” katanya.
Dua perusahan rintisan atau startup di Tanah Air yakni PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius education, belum lama ini mengumumkan bahwa perusahaan tersebut memPHK ratusan karyawannya. Keduannya melanjutkan tren PHK oleh beberapa startup lainnya seperti Fabello, TaniHub, dan UangTeman.
Sebelum ini ada beberapa startup Indonesia yang pada akhirnya juga harus gulung tikar antara lain Airy Roosm, Stogo, Qlapa, dan Sorabel.
Hendra memberi saran kepada perusahaan yang mengawali dari pertama atau startup ini agar tidak perlu terburu-buru untuk booming. Lebih baik tumbuh secara organi. Kalau memang mau ekspansi baru cari investor. Dana dari investor tersebut hanya alat pembantu untuk berkembang dan bukan tujuan utama mendirikan startup.
Hendra juga memberi analogi investor kepada perusahaan stratup seperti baby walker untuk bayi agar dapat bisa belajar berjalan. Tapi pada akhirnya bayi tersebut harus dibawah ke ahli tumbuh kembang anak.
“Lebih baik punya perusahaan yang berkembang secara perlahan tapi sehat dan bertahan lama daripada dikarbit menjadi besar dalam sehari tapi besoknya layu,” tutup Hendra.
Sumber BBS
Jurnalis: Asep