TVSidoarjo – Banyak persiapan yang dilakukan untuk menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah, salah satunya baju baru yang akan dikenakan saat lebaran. Batik Ecoprint bisa menjadi salah satu pilihan karena keunikan coraknya. Ecoprint adalah seni membatik kain menggunakan zat pewarna alami dari daun. Daun yang digunakan bisa beragam jenis dan bentuk. Zat pewarna yang digunakan pun juga berasal dari alam, tentunya lebih ramah lingkungan.
Siti Harnanik, salah seorang pembuat batik ecoprint asal Desa Sruni, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo mengatakan, meskipun menggunakan pewarna alami, warna yang dihasilkan sangat indah dan unik. Bahkan corak batik ecoprint di klaim berbeda pada tiap lembar kain.
Seringkali, Unick, sapaan akrabnya, menggunakan tanaman di halaman rumahnya untuk menghias kain. Seperti daun Jati, jarak wulung, lanang, jarak kepyar, red tanama, tabebuya, dan daun kejaran. Dia mengaku kreativitasnya membuat batik ecoprint didapatkan dari tutorial di YouTube.
“Motifnya cuma satu aja nggak bisa banyak kayak printing. Jadi kalaupun kita bikin lagi sama persisi nggak bisa karena jejak tiap daun berbeda-beda,” kata Unick Selasa (03/05/2022).
Unick mengaku, mendekati Hari Raya Idul Fitri pesanan meningkat sekira 40 persen. Terutama hampers, kain, dan mukena. Selain itu ecoprint juga bisa digunakan untuk tas, sepatu, dompet, dan aksesoris. “Lebaran ini paling banyak di order hampers kain, biasanya dipakai untuk pakaian saat lebaran. Seperti gamis, dress, blouse. Bahkan ada yang bikin seragam sekeluarga,” imbuhnya.
Cara membuat batik ecoprint, Unick menjelaskan, langkah pertama kain putih polos jenis katun atau sutra dicuci untuk membersihkan kotoran dari pabrik. Lalu direndam menggunakan tawas cuka air dan bahan lainya selama 12 hingga 24 jam. Langkah ini agar pori-pori kain terbuka sehingga bisa menerima zat tanin atau pewarna alami daun secara maksimal. Selanjutnya mulai menata daun-daun yang telah dibersihkan dengan air di atas kain yang sudah siap.
Digulung kemudian di steam selama 2 jam. Setelah itu gulungan kain tersebut dibuka, dibersihkan daunya lalu dijemur atau diangin-angin kan. jangan dijemur dibawah terik matahari. Dalam sehari ia mampu memproduksi batik ecoprint hanya 10 lembar saja karena keterbatasan SDM. Dirinya harus berusaha lebih giat jika ada pesanan banyak, seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
“Tiap daun ada karakter masing-masing misalnya daun kenikir warnanya oren, daun jati cenderung merah, sedangkan daun lanang warnanya hijau, jadi punya karakter masing-masing,” jelas ibu dua anak ini.
Ecoprint buatan Unick dibanderol dengan harga paling murah mulai dari Rp 250 ribu hingga paling mahal Rp 2 juta. Tergantung jenis bahan dan barangnya. “Paling murah itu syal, Rp 250 ribu. Yang paling mahal ada kain sutra harganya Rp. 2 juta. Kalau tas mulai harga Rp 300 hingga 800 ribu, ada sepatu juga harganya Rp 450 ribu bisa lebih, tergantung modelnya,” tuturnya.
Untuk memasarkan hasil kreativitasnya Unick memanfaatkan sosial media. Paling jauh dia pernah melakukan pengiriman ke Pulau Bali, Makassar, dan Balikpapan. Semua itu merupakan pembeli online. “Bule malah banyak yang suka produk saya, karena menurut mereka ini unik dan edisi terbatas. Kain perca sisa produksi saya gunakan untuk aksesoris, bros, dan masker,” cetusnya.
Untuk perawatan batik ecoprint hampir sama dengan batik tulis. Usahakan tidak mencucinya dengan detergen, cukup menggunakan sampo yang lembut atau sabun klerek. Lalu dikeringkan di suhu rendah. Disarankan agar tidak dijemur dibawah matahari.
“Kendalanya itu jika orang nggak paham ecoprint, mereka minta dibuatin motif yang sama. Itu nggak bisa. Sisa daun saya gunakan untuk pupuk tanaman (kompos),” tandasnya.
Sumber : ecoprint
Jurnalis : Noe