OPINI PERADABAN
*FIR’AUN DUNIA BARU, ALGORITMA BIG DATA*
17 Desember 2017, tonggak penting sejarah peradaban manusia. Program AlphaZero Google mengalahkan program Stockfish 8 –yang memiliki akumulasi pengalaman manusia selama berabad-abad dalam catur, dan mampu menghitung 70 juta posisi catur per detik. Sebaliknya, AlphaZero hanya melakukan 80.000 kalkulasi per detik. Padahal pencipta program ini tidak mengajarkan strategi catur apa pun, bahkan bukaannya pun standar.
Dari seratus pertandingan, AlphaZero memenangkan 28 dan mengikat 72 pertandingan. AlphaZero membutuhkan total 4 jam untuk mempelajari gerakan catur manusia selama berabad-abad melalui prinsip pembelajaran mesin untuk belajar catur sendiri dengan bermain melawan dirinya sendiri.
Begitulah gambaran kuasa Artificial Intelligent (AI) sekarang. Sesaat lagi, manusia akan diganti dengan robot.
Jika masa depan umat manusia diputuskan tanpa kehadiran kita, karena Anda terlalu sibuk kerja ini itu. Maka kita tidak akan dibebaskan dari konsekuensinya. Kelihatannya tidak adil tapi siapa bilang sejarah pernah adil?
Penggabungan teknologi informasi dan bioteknologi segera mendorong miliaran manusia keluar dari pasar kerja. Kebebasan dan kesetaraan pun dibuat rusak karenanya.
Algoritma Big Data menciptakan diktator digital di mana semua kekuatan terkonsentrasi di tangan elit kecil. Yaitu Fir’aun dunia baru, siapa lagi kalau bukan para “investor dan pemodal”.
Efek lain kekuasaan algoritma big data adalah orang menderita bukan karena eksploitasi tetapi karena sesuatu yang jauh lebih buruk yaitu eksistensi diri kita tidak dibutuhkan orang lain.
Di abad ke-21, kita jadi pengangguran karena tidak mendapatkan peran. Tidak hanya di dunia ketiga, ini juga terjadi di Barat. Liberte egalite fraternite yang digaungkan Revolusi Prancis sekarang hanya menjadi jargon kosong.
Revolusi teknologi ini memunculkan gejala pergolakan sosial dan politik yang unik. Ia tidak mengalahkan ideologi liberalisme, sosialisme, bahkan nasionalisme. Tapi membunuh dan menikam jati diri “manusia”nya.
Setelah pemungutan suara Brexit, ahli biologi terkemuka Richard Dawkins memprotes bahwa sebagian besar publik Inggris – termasuk dirinya sendiri – seharusnya tidak pernah diminta untuk memilih dalam referendum.
Mengapa?, karena mereka tidak memiliki latar belakang ilmu ekonomi dan politik. Sama dengan ketika Anda ditanya apakah aljabar Einstein itu benar? atau bertanya kepada penumpang untuk memilih di landasan pacu mana pilot harus mendarat?
Maka, jika ingin mencegah terkonsentrasinya seluruh kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir elite, kuncinya adalah mengatur kepemilikan BIG DATA!
Twitter, Instagram, Facebook, Youtube, Google… telah menjadi pedagang informasi viral. Mereka seakan memberi informasi, layanan, dan hiburan gratis, dan mereka kemudian menjual kembali kepada pengiklan. Maka sebenarnya kita ini bukan pelanggan mereka tapi lebih memprihatikan lagi: kita ini adalah produk mereka!
Merekalah teroris riil saat ini yang menjadi penguasa tunggal, sang pengendalian pikiran publik. Teroris ini seakan-akan “pengetahuan dan kebenaran”. Kita mengira tahu banyak, meskipun secara individu kita tahu sangat sedikit, karena kita memperlakukan pengetahuan dalam pikiran orang lain seolah-olah itu milik kita sendiri.
Akibatnya, banyak orang yang hampir tidak tahu apa-apa tentang meteorologi atau biologi tetapi mengusulkan kebijakan mengenai perubahan iklim dan tanaman rekayasa genetika.
Orang jarang menghargai ketidaktahuan mereka, karena mereka mengunci diri di dalam ruang gema pertemanan yang berpikiran sama dan umpan berita yang menegaskan pembenaran diri sendiri. Sementara, keyakinan mereka terus-menerus dipupuk dan jarang ditantang oleh diskursus yang berkualitas dan cerdas.
Padahal jika kita benar-benar menginginkan kebenaran, maka kita harus melarikan diri dari lubang hitam kekuasaan publik dan membiarkan diri berkeliaran di pinggiran. Katakan benar walau pahit dan berbeda dengan yang lain. Itu tidak haram… bahkan dianjurkan bukan?
Sebab pengetahuan revolusioner jarang sampai ke pusat. Sebab pusat dibangun di atas pengetahuan yang hegemonik tapi ilusi belaka.
Saya masih percaya, homo sapiens adalah spesies post-truth. Ia bisa bermetamorfosis menjadi “yang lain”. Yang tercerahkan cahaya ilmu dan risalah kenabian. Asalkan mau bersabar menempuh jalan suluk, dengan cara “bertapa”….
Kebenaran dan kekuasaan, sejatinya dapat melakukan perjalanan beriringan. Seperti para Nabi yang mulia, tuntunan kita membangun peradaban. (*)