TVSidoarjo – Suatu ketika, di tahun 2013 saya memperlihatkan foto lawas di internet. Mata Bapak saya (Subandi almarhum) langsung berkaca-kaca. Kalimat pertama yang terucap dari mulutnya: “Saya ikut mengambilnya di Vladivostok Uni Soviet dan berjuang di atas kapal itu,”
KRI IRIAN nama kapal bernomor lambung 201 yang saya tunjukkan di foto itu. Bapak kala itu adalah kelasi kapal dengan tugas operator komunikasi sandi morse. “Nah, itu tanggal 24 Januari 1963 saat datang dari Soviet dan yang berdiri di dek kapal itu salah satunya saya. Itu yang bawah kanon kedua kalau ndak salah,” jelas Bapak.
Sebagai anggota TNI AL, menurut Bapak, kehadiran kapal berjenis cruiser sangat dibutuhkan Indonesia. Sebab, ketika itu berlangsung konflik antara Indonesia dan Belanda untuk memperebutkan Irian Barat. Sehingga membutuhkan kapal perang yang mumpuni.
“Kapal perang Sekutu Belanda sudah modern. Ada Karel Doorman, itu jenis kapal induk yang pernah dikirim untuk perang dengan Indonesia,” jelas Bapak yang menguasai Bahasa Rusia itu.
Sedangkan TNI AL saat tahun 60-an hanya memiliki sedikit kapal tempur yang siap perang. Oleh sebab itu, setelah kedatangan KRI Irian, Bung Karno terus mendatangkan banyak kapal perang dari Uni Soviet.
Sebut saja KRI Ratulangi. Sampai tahun 1962 kapal ini bernama Nikolay Kartashov yang bertugas di armada Pasifik AL Uni Sovyet, kemudian dihibahkan ke Indonesia dan berubah nama menjadi KRI Ratulangi. Kapal ini merupakan induknya armada kapal selam TNI AL.
“Kapal selam TNIAL yaitu Alugoro, Wijayandanu, Nagabanda, Trisula. Masih banyak lagi saya lupa,” ujar Bapak yang juga pernah jadi awak kapal KRI Ratulangi.
Sebagai kapal perang terbesar tipe penjelajah yang pernah dimiliki oleh Indonesia, KRI Irian memang sangat istimewa. “Senjatanya lengkap. Kanon juga torpedo yang ditakuti Belanda,” ujar Bapak.
Dunia mengenal kapal buatan Uni Soviet ini sebagai kelas Sverdlov dan dibuat sebanyak 14 buah. Di luar Uni Soviet pengguna kapal kelas Sverdlov ini pada zaman itu (1960-an) hanya Indonesia.
Dalam pengalihan kepemilikan kapal kelas Sverdlov, Uni Soviet sangat selektif dan berusaha keras agar pihak Sekutu Barat tidak mengetahui teknologi yang dimiliki. Bahkan mereka berprinsip tidak akan pernah menjual kapal sebesar itu ke pihak luar selain kepada sahabat dekatnya.
Sebagai negara yang berhubungan mesra dengan Uni Soviet, maka saat itu Indonesia tidak hanya mendapatkan hibah kapal perang atas air tapi juga banyak kapal selam. “Tahun 60-70 an, TNI AL kita menjadi yang terkuat di Asia,” kenang Bapak dengan bangga.
“Uni Soviet (Rusia sekarang) adalah sahabat terdekat Indonesia. Jangan pernah melupakan jasa mereka. Kita bisa disegani dunia karena bantuannya. Nanti kita kualat,” kata Bapak dengan menghiba.
Sumber : AL
Jurnalis : KRK