SHARE NOW

SEDJAK TAOEN 1955

SEDJAK TAOEN 1955

Namanya Toha. Umur 82 tahun. Kakek ompong perokok berat ini punya 3 istri, 5 anak, 9 cucu dan 4 cicit. Setiap pagi sampai jam 2 siang Toha “ Dinas “ dalam kios tambal ban di ujung selatan Jalan Gajahmada. Pekerjaan ini dilakoni “Sejak sepuluh tahun sebelum Gestok (Gerakan Satu Oktober, istilah lain dari G 30 S), “ kata Toha sambil pipi kempongnya menghisap rokok kretek dalam-dalam.

Sudah setengah abad lebih ia melakukan pekerjaan yang sama. Setiap hari dari tahun ke tahun, hingga anak-anaknya sudah punya cucu. Menghadapi masalah ban bocor yang problem solving nya itu-itu juga. Yang dibutuhkannya, seperangkat alat bengkel, Vulkanisir, kasur lapuk, ban bocor dan doa agar si pasien tidak komplain gara-gara ban yang baru di tambal kempes lagi.

Saya jadi ingin tahu stamina apa yang membuat lelaki keriput ini tahan dari bosan.

Di tahun 1990-an, saat istilah SDM tinggi dan era tinggal landas menjadi meriang nasional, Emha Ainun Nadjib menulis tentang seorang ibu penjual sayur mayur yang harus naik turun bukit jam tiga pagi ke pasar.

Sementara kiblat SDM kita adalah Negara-negara dunia pertama yang dilecut oleh perdagangan dan persaingan kapital yang sibuk.
Dan keinginan punya rakyat ber-SDM tinggi begitu menggebu. Siaran (baik berita atau sinetron) televisi di sibuki permasalahan orang kaya dan pemandangan orang menghitung uang yang terbendel rapi di bank.

Seakan SDM yang tinggi itu di ukur dari berapa cm tumpukan uang yang dihasilkan setiap harinya.
Apa boleh buat, syahwat kaya jadi gejala umum Negara Asia yang selalu sebagai obyek. Dan kita terlarut dalam suasana itu dengan ceria. Bahkan di China, negeri Komunis (yang anti Kapitalisme), sekujur tubuhnya bergetar terseret industrialisasi, setelah Deng Xio Ping bicara “Menjadi kaya adalah mulia”.
Emha menggugat pandangan publik saat itu. Apakah ibu, yang naik turun bukit pagi buta tanpa ada yang menyuruh, punya SDM yang rendah hanya karena ia penjual sayur.

Sementara ribuan muntahan perguruan tinggi dengan nilai skripsi Cum Luade masih pada tidur menunggu keajaiban lapangan kerja yang datang entah dari kayangan gang mana.

Saya kira dari kasus ibu itu Emha menilik dengan kritis bahwa ukuran SDM yang tinggi bukan hanya orang berbusana perlente dan ruang ber-AC. Tetapi dedikasi pada hidup yang bertujuan untuk menghidupi orang lain. Dan Toha berhasil menghidupi tiga perempuan yang jadi istrinya. Dengan lain kata Emha melihat sisi kecerdasan sosial dengan Hablullminanass yang aduhai.

Tetapi manusia bukan mahluk yang suka berhenti di satu titik. Ia adalah mahluk pencari sesuatu yang dianggapnya lebih baik dari sebelumnya. Nietzhe, filsuf Jerman yang mati gila, menuliskan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “nafsu” bawaan lahir, will to power (keinginan berkuasa), will to truth (keinginan mencari kebenaran), will to knowledge (keinginan mencari pengetahuan). Masing-masing keinginan itu lah yang mewarnai tingkah-terjang manusia dalam proses eksistensi sosialnya.
Hanya saja tidak semua manusia bisa memanaj ketiganya dengan serasi. Karena ketiga nafsu itu membuat manusia hidup dalam gelembung keresahan yang kronis. Para raja, pemimpin, panglima perang dan filsuf praktis menghuni tetap gelembung itu. Mereka tidak ingin puas dalam menganalisa dan merubah keadaan yang stagnan.

Rasanya tidak salah jika dalam kondisi di cambuk globalisasi ini, gelembung- gelembung keresahan itu di budidaya. Di kampus, pabrik, kantor, sekolah terlihat orang pda berlarian mengejar waktu. Seperti esok, saat bangun pagi, dunia bukanlah dunia saat ini, dan manusia harus cepat beradaptasi kalau tidak ingin terlempar di tribun jadi penonton.

Kata orang Jawa, Nrimo ing pandum, menerima keadaan yang sudah di beri Gusti kang Murbeng Dumadi. Sayang istilah bijak itu sekarang di anggap lelucon yang tidak lantas membuat orang terkekeh-kekeh. Globalisasi menyediakan segudang alasan untuk mencurigai kalimat itu. Orang harus punya ambisi, ambisi. Dan itu salah satu modal hidup dalam globalisasi.

Namun di tengah hiruk pikuk itu manusia tetap seorang diri. Ia butuh telaga tempat mengendapkan debu-debu kehidupan. Toha dan ibu penjual sayur itu meredam ambisinya. Ia puas dengan apa yang lakukannya selama ini. Mereka praktis jadi mahluk yang mengandalkan insting alaminya untuk bertahan hidup. will to power, will to truth, will to knowledge di arahkan pada sesuatu yang konkrit dan dapat menegakkan tulang punggungnya, untuk dapat menambal ban dan jualan sayur lagi esok pagi.
Akhirnya Toha tetap jadi penambal ban abadi. Seumur hidup ia akan makan dari ban yang bocor. (SyaifulA.I)

Pengunjung

Online : 0

Pengunjung hari ini : 14

Kunjungan hari ini : 15

Pengunjung kemarin : 93

Kunjungan kemarin : 150

Total Pengunjung : 44934

Total Kunjungan : 107586

Home

© 2021 PT.Sidoarjo Maju Media. All Rights Reserved.

Design by Velocity Developer

NEWSTICKER
No post ...