Bok Bantin, pemudi asal Gedangan Sidoarjo itu harus pasrah ketika ternyata dia tidak bisa pulang dari Suriname. Apa yang dijanjikan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa setiap kuli kontrak bisa pulang ke tanah air itu ternyata hanya kebohongan belaka.
Begitulah sepenggal narasi para pemuda pemudi Sidoarjo yang dipekerjakan di Suriname sebagai kuli kontrak sebagaimana diulas dalam buku “Jejak Sidoarjo, dari Jenggala ke Suriname” karangan Tim Penelusur Sejarah Sidoarjo.
Pada 1890 untuk pertama kalinya kaum imigran dari Jawa (etnis Jawa) menjejakkan kaki di benua Amerika tepatnya di Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang jaraknya dari Indonesia memerlukan waktu tempuh sekitar 21-23 jam dengan pesawat terbang saat ini.
Kedatangan imigran Jawa ke Suriname terbagi tiga tahap, yakni pada 1890 tepatnya pada 9 Agustus di kawasan Marienburg, sebagai daerah tempat pendaratan pertama kali orang Jawa ke negara yang juga disebut Guyana Belanda itu.
Hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II.
Sering kali orang-orang Jawa, pada umumnya masih pemuda, yang dibawa Belanda ke Suriname bukan atas kemauan ataupun kesadaran sendiri, melainkan—menurut istilah mereka—”diwereg” atau ditipu oleh para agen pencari budak.
Tak jarang anak-anak itu sedang bermain-main di luar rumah kemudian didatangi seseorang, mereka diajak bicara-bicara dan seperti terkena hipnotis menurut saja. Para pemuda dan pemudi dari Jawa tersebut oleh Belanda dikatakan akan dipekerjakan di “tanah seberang” (istilah masyarakat Jawa untuk wilayah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, ataupun Sulawesi).
Namun, tanpa sepengetahuan mereka, imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan sehingga tak jarang ada yang mengalami sakit di perjalanan bahkan meninggal di atas kapal.
Pemerintah Belanda menjanjikan para pekerja dari Jawa tersebut akan dikontrak selama lima tahun dan setelah selesai kontraknya sebagai pekerja perkebunan akan dipulangkan ke tanah Jawa kembali.
Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 sen sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun, semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda.
Bahkan, Belanda menetapkan peraturan yang amat ketat bagi para pekerja perkebunan dari Jawa, yakni dilarang keluar dari kawasan perkebunan, jika diketahui melanggar aturan tersebut, dikenakan sanksi dan denda.
Oleh karena itu, tak jarang banyak pekerja dari Jawa yang kehabisan gaji untuk membayar denda karena ketahuan keluar dari kawasan perkebunan dan akhirnya tidak mampu menabung untuk bisa kembali ke Jawa.
Suriname, sampai sekarang menyimpan cerita duka bagi bangsa kita. Sebuah tragedi pilu bagaimana nusantara, bangsa besar dengan peradaban setinggi dan sekokoh Borobudur itu akhirnya harus terjajah korporasi (VOC) dari negeri Eropa.
Wildan