Masrifah kini hanya bisa berharap ibunya bisa pulang dengan selamat. Apong Rohaeti, sang ibu, adalah pekerja migran asal Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat yang hilang kontak dengan keluarga sejak lima tahun yang lalu.
Putri Rohaeti itu menuturkan bahwa sang ibu sempat memberi kabar setelah tiga bulan bekerja di Malaysia. Sayang, Arifah tidak mengetahui lokasi pasti tempat bekerja Rohaeti. Begitu pula dengan kontak dan alamat perusahaan penempatan.
Bahkan, Masrifah sempat dikasih nomor majikan oleh sang Ibu. “Tapi anehnya (telepon) tidak pernah diangkat. Sampai sekarang pun nomor majikan masih aktif,” lanjutnya.
Masrifah berharap keluarga bisa mendapatkan kabar dan berkumpul kembali bersama Rohaeti. “Tolong sampaikan, sekarang anak-anaknya sudah menikah semua dan Mamah sudah punya cucu tiga,” ujarnya pedih.
Banyak dari pekerja migran (TKI) yang nasibnya tak menentu. Terkatung-katung di negeri orang tanpa perlindungan dari negara. Tidak hanya sekedar infomasi keberadaannya saja tetapi juga jaminan keamanan dan keselamatannya. Juga bantuan hukum bagi yang mendapatkan masalah.
Ini persoalan kemanusiaan yang menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah menegakkan UUD 45, sekaligus menentukan tinggi rendahnya martabat sebuah bangsa yang beradab.
Pemerintah perlu mewujudkan mekanisme perlindungan yang maksimal kepada mereka, sebab para buruh migran ini sejatinya adalah pahlawan bangsa. Betapa mereka harus rela mencari kerja ke luar negeri, sebab di negeri sendiri tidak ada lapangan kerja yang bisa menampungnya.
Jangan lagi ada Sariah, pekerja migran asal Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang hilang kontak dengan keluarga sejak tahun 1999. “Selama 20 tahun lebih hanya berharap beliau dalam keadaan sehat walafiat sehingga dapat berkumpul kembali bersama kami,” kata Mahfud, sang anak.
#Wildan
